Rabu, 05 Januari 2011

Anomali Cuaca Akibat Pemanasan Global, Pekebun Dan Petani Rugi

Dampak multidimensi kini mulai merayap dari daerah ke daerah menyusul terjadinya anomali cuaca akibat pemanasan global saat ini. Masyarakat perlu mewaspadai dampak anomali cuaca itu karena hujan deras dan banjir mendadak bisa muncul.

Di sisi lain, tanaman sayuran, padi, dan tembakau di sejumlah daerah rusak hingga hancur karena terkena dampaknya. Pemerintah dinilai kurang peka terhadap masalah ini, padahal dampak susulannya jelas merugikan kalangan pekebun dan petani.

Sejumlah fakta dari Nusa Tenggara Timur, Maluku, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat menunjukkan dampak merugikan dari perubahan iklim ekstrem tersebut. Beberapa ahli dan praktisi mengingatkan perlunya antisipasi terhadap anomali cuaca.

Dosen Universitas Negeri Nusa Cendana Kupang Mikhael Riwu Kaho, Rabu (7/7/2010), mengingatkan dampak turunnya hujan beberapa hari terakhir telah mengakibatkan banjir dan merendam ribuan rumah di sejumlah kecamatan di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur.

”Ini penyimpangan cuaca. Suhu permukaan laut di wilayah Sumatera panas dan tiba-tiba kita di NTT, terutama kawasan Belu dan sekitarnya, hujan lebat sampai terjadi banjir. Ini perlu mitigasi secara dini,” ujar Mikhael.

Menurut Mikhael, kondisi anomali cuaca ini bisa terjadi secara mendadak dan sporadis. Pemerintah tidak boleh membiarkan masyarakat hidup dalam kondisi santai dan mengabaikan dampak pemanasan global.

Di Nusa Tenggara Timur, anomali cuaca memicu hujan deras dan angin ribut mendadak karena wilayah ini hanya memiliki 11 persen tutupan hutan.

Kepala Stasiun Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Bandung Jumadi, Rabu, menambahkan, musim kemarau di Jawa Barat akan mundur akibat krisis atmosfer dan pertumbuhan angin di sepanjang Laut Jawa serta tekanan angin rendah di sejumlah tempat, seperti Australia.

Kondisi itu, menurut Jumadi, mengakibatkan anomali cuaca di sebagian besar wilayah Jawa Barat, ditandai dengan hujan terus-menerus. Musim kemarau yang diperkirakan jatuh pada Juni ternyata mundur hingga pertengahan Juli. Saat ini curah hujan di Jawa Barat rata-rata 50 milimeter per dekade atau per 10 hari.

”Musim kemarau diperkirakan jatuh pada Juli ini karena curah hujan mulai berkurang, mendekati kering,” kata Jumadi.

Meski demikian, kondisi itu dinilai tidak banyak berdampak terhadap kegiatan masyarakat, termasuk pertanian. BMKG Stasiun Meteorologi Pattimura, Ambon, juga memprakirakan cuaca buruk itu akan berlangsung hingga September.

Pihak BMKG Jakarta, Endro Santoso, Kepala Bidang Informasi Klimatologi dan Kualitas Udara BMKG, Selasa, menyatakan, anomali cuaca berupa curah hujan di atas normal pada kemarau ini akan berlangsung hingga November akibat fenomena La Nina di Samudra Pasifik.

Dampak pada pertanian


Di Indramayu, Jawa Barat, tanaman cabai merah, bawang merah, tomat, dan kentang banyak yang gagal panen karena serangan hama. Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Kabupaten Bandung Hans Sambas mengatakan, hujan mengakibatkan meningkatnya kelembaban tanah. Kondisi itu memicu timbulnya hama tikus dan wereng.

”Tikus dan wereng suka tinggal di daerah lembab. Dengan hujan yang tidak kunjung henti, jenis hama tanaman itu merajalela. Saya menerima laporan dari anggota yang sawahnya diserang tikus. Luasan total belum diketahui,” tutur Hans.

Ketua Harian Dewan Hortikultura Nasional Benny A Kusbini, Rabu di Indramayu, mengatakan, kemarau basah mengakibatkan banyak kebun sayuran gagal panen. Tingkat kegagalannya beragam, 30-100 persen. ”Kegagalan ini tidak hanya dirasakan petani sayur di Jawa Barat, tetapi juga petani sayur di Jawa Tengah dan Jawa Timur,” ungkapnya.

Ia menegaskan, hampir semua petani sayur di Jawa gagal panen karena hujan terus terjadi. Muhidi, petani sayuran bunga kol di Kecamatan Sukra, Indramayu, mengatakan, hujan berlebihan membuat hama dan jamur cepat berkembang biak.

Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jember, Jawa Timur, Totok Hariyanto melaporkan kerugian yang diderita petani akibat cuaca ekstrem itu. Hal senada diungkapkan Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Jember Hari Widjajadi, yang melihat banyak petani terpaksa membiarkan lahan mereka bero.

Di Provinsi Maluku, cuaca ekstrem memicu munculnya gelombang laut yang tinggi serta menghambat nelayan dan transportasi laut. Nelayan di tiga tempat, yaitu Ambon, Kabupaten Maluku Tengah, dan Kabupaten Aru, memutuskan untuk tidak melaut.

Cuaca ekstrem juga menghambat transportasi barang dan menjadikan naiknya harga bahan kebutuhan pokok berupa beras, gula, dan telur yang didatangkan dari Surabaya dan Makassar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar