Rabu, 05 Januari 2011

Suporter Indonesia Sangat Luar Biasa !!!

Jarum jam menunjuk pukul 16.00 WIB, Rabu 29 Desember 2010. Ribuan suporter berkaos merah, baik orang tua, muda, anak-anak hingga ibu-ibu berduyun menuju satu titik, Stadion Gelora Utama Bung Karno, Senayan, Jakarta. Stadion terbesar di Indonesia menjadi lautan merah manusia. Aliran suporter bak air bah masuk dari segala penjuru. Semakin sore, jalan masuk ke kawasan Senayan semakin sulit karena suporter berjejalan. Seluruh pendukung skuad Garuda berjalan kaki, karena semua jenis kendaraan dilarang masuk kawasan Senayan.

Mendekati pukul 17.00 WIB, masuk ke kawasan lingkar luar stadion makin susah. Sejauh mata memandang, lautan manusia berkaos merah. Demikian juga suasana di dalam stadion, penonton memenuhi kursi. Padahal pertandingan baru dimulai pukul 19.00 WIB. Penampilan tim nasional Indonesia melawan Malaysia di final kedua Piala AFF 2010, benar-benar membangkitkan euforia bagi pecintanya. Penampilan hebat Tim Merah Putih selama babak penyisihan, membangkitkan harapan baru kebangkitan sepakbola Indonesia. “Saya merinding menyaksikan lautan merah manusia di Senayan,” ujar Hasan, petugas keamanan stadion GUBK.

Sore itu, stadion GUBK seolah menjadi tuan rumah hajatan besar Republik ini bagi seluruh rakyatnya. Tiket memang telah habis, tapi suporter tak peduli. Mereka tetap datang ke stadion memberikan dukungan kepada Tim Merah Putih dengan cara apa pun. Sejak pagi hari, mereka telah bergerak dari rumah menuju Gelora Bung Karno. Bahkan suporter dari berbagai kota di Jawa sudah bermalam di stasiun, hotel maupun menginap di Senayan. Banyak juga karyawan perkantoran membolos dari tempat kerjanya.

Mereka akhirnya tumplek blek di GUBK meski harus dilalui dengan penuh perjuangan. Dari berjubel di dalam angkutan umum. Hingga sulitnya mencari parkir bagi pengendara kendaraan pribadi. Turun dari kendaraan, mereka harus bersabar masuk dari pintu GBK. Karena ribuan suporter yang sudah menyemut berdesak-desakan. Di dalam stadion, perjuangan mencari tempat pun harus dilakukan. Secuil tempat atau kursi menjadi barang mahal saat itu. Demikian pula kursi untuk media yang ‘diserbu’ para penonton. Tak cukup sampai di situ. Pekerja pers yang sudah disediakan tempat duduk khusus harus penuh sabar karena banyaknya penonton berdiri di antara kursi-kursi mereka. Apalagi, banyak meja berubah menjadi tempat duduk.

Di luar stadion, ribuan suporter nonton bareng melalui sedikitnya enam layar lebar di beberapa titik GUBK. Penonton tak kalah menyemut dibanding di dalam stadion yang penuh sesak dan mulai menimbulkan rasa tak nyaman. Teriakan membahana, “Indonesia ..Indonesia!” terus berkumandang meski layar belum kunjung menampakkan gambarnya. Sesekali suporter menyanyikan lagu Garuda di Dadaku. Penjual segala bentuk asesoris Tim Merah Putih memaksimalkan hari terakhir pertandingan Piala AFF itu untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Mereka ikut berandil besar ‘memerahkan Senayan’. SUGBK mendadak jadi mengharukan ketika lagu Indonesia Raya dikumandangkan. Karena lebih dari 100 ribu orang menyanyikannya, baik di dalam maupun luar stadion. 100.000 dari 237 juta penduduk Indonesia ada di GBK, saat itu.

Pada saat pertandingan berjalan, tiba-tiba ada sedikit keributan. Suporter ramai-ramai berteriak “Kampungan!” Saat ada sinar laser yang tiba-tiba muncul, suporter serempak berteriak “Matikan Laser! Kampungan! Matikan laser, kampungan!” berulang-ulang. Mereka menunjuk arah sinar laser berasal secara beramai-ramai. Penonton dibuat berteriak sambil berdiri ketika beberapa peluang timnas Indonesia hadir di babak pertama. Mereka makin bergemuruh ketika Indonesia mendapatkan tendangan penalti. Mereka duduk kembali dan terdiam saat tendangan penalti Firman Utina di menit 17 itu gagal menjadi gol. Mereka terus berharap-harap cemas ketika Tim Merah Putih tak kunjung menjebol gawang Malaysia di babak I.

Di babak II, SUGBK mendadak hening ketika gawang Markus Horison dijebol striker Malaysia, Safee Sali di menit 52. Harapan seolah menguap, karena Indonesia harus mengejar defisit 5 gol. 4 gol (menang 4-1) tak cukup karena Indonesia akan kalah gol tandang setelah takluk 0-3 di Malaysia.

Stadion warisan Bung Karno yang dibangun pada 1959 ini kembali bergemuruh seiring lahirnya gol penyama kedudukan lewat bek kiri Muhamad Nasuha yang merangsek ke depan pada menit 71.

Penonton makin bergemuruh ketika Indonesia berbalik unggul 2-1 setelah sepakan keras sayap kanan Muhamad Ridwan mengenai pemain belakang Malaysia dan menjebol gawang di menit 87.

Tiga menit tersisa tak cukup bagi Timnas untuk mengejar ketinggalan. Tapi, kemauan dan kemampuan pasukan Merah Putih mengejar ketinggalan, menyamakan kedudukan dan berbalik unggul benar-benar menjadi hiburan tersendiri bagi penonton.

Penonton pun mengapresiasinya. Hingga pertandingan usai, penonton masih setia bertahan hingga prosesi pengalungan medali kepada Timnas dan juga Malaysia. Mereka memberi tepuk tangan, dan tiupan terompet. Tak ada kericuhan di dalam stadion, dan penonton keluar dengan tertib.

Permainan hebat tim nasional Indonesia benar-benar mendewasakan suporternya!

Kapolda Metro Jaya, Inspektur Jenderal Sutarman yang menyempatkan diri nonton bareng di luar stadion bersama warga melalui televisi berukuran kecil mengungkapkan bangganya kepada suporter Garuda. Tak ada kericuhan meskipun Indonesia tak juara.

Apresiasi atas sportivitas suporter terus mengalir. Tidak ada keributan, tidak ada suara mercon, tidak ada sinar laser seperti di Kuala Lumpur, tidak ada dorong-dorongan, apalagi tawuran antar kelompok suporter seperti saat pertandingan Liga Indonesia. “Meski tidak juara, tapi kita menang. Kita berhasil menang melawan keributan, kerusuhan,” kata Agung, suporter asal Solo.

Kebanggaan terhadap keberadaan pemain ke-12 ini juga disampaikan Irfan Bachdim. “Saya sangat bangga terhadap para suporter Indonesia! Ya, Anda semua hebat! Sungguh suporter terbaik di dunia! Saya bangga terhadap Anda semua dan juga bangga menjadi orang Indonesia,” kata Irfan Bachdim dalam bahasa Inggris di akun Twitternya, @irfanbachdim20,

Antusiasme dan sikap positif masyarakat terlihat juga saat iring-iringan bus timnas keluar dari stadion. Selain memberikan tepuk tangan berkepanjangan, sebagian suporter bahkan sengaja mengikuti bus untuk sekedar melambaikan tangan dan meneriakkan pemain idola mereka.

It’s Just The Game

Di lapangan, Malaysia adalah ‘lawan’ yang harus ditaklukkan. Di luar lapangan, status Indonesia dan Malaysia sebagai Negeri Jiran tak terbantahkan.

Psywar di dunia nyata dan maya dilontarkan kedua kubu: Indonesia dan Malaysia jelang final Piala AFF 2010. Bahkan, ada yang berbau SARA mengaitkan dengan pasang surut hubungan kedua negara. Wajar, itu jadi bumbu penyedap jelang pertandingan yang terbilang panas dan penuh prestise.

Di lapangan, kedua tim mempertaruhkan segala kebisaan, teknik, skill, tipu daya serta strategi jitu dalam dua laga menegangkan. Dan apa pun hasil setelah laga berakhir, seluruh elemen kedua tim layak berjabat tangan kembali.

Seusai laga, Irfan Bachdim boleh menangis dan bersedih menyesali kegagalan. Maman Abdurahman tertunduk. Hamka Hamzah pilu. Firman Utina tak tertawa meski meraih penghargaan Pemain Terbaik (MVP).

Kapten Malaysia, Safiq Rahim coba menghibur mereka. Itulah makna sesungguhnya,”it’s just the game!” Dari lawan di lapangan, menjadi kawan di luar lapangan.

Makna itulah yang juga telah mulai dimengerti suporter fanatik Tim Merah Putih. Tak ada kerusuhan seusai laga final 2 Piala AFF antara Indonesia melawan Malaysia di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan Jakarta, 29 Desember 2010. Permainan apik Timnas saat menang 2-1 atas Malaysia menjadi hiburan tersendiri bagi suporter.

Jabat Tangan & Lapang Dada

Selayaknyalah kegagalan Indonesia untuk kembali menjadi Raja di Asia Tenggara diterima dengan lapang dada oleh seluruh elemen bangsa. Seperti ketika kedua kubu suporter Indonesia dan Malaysia berjabat tangan sebelum final 1 di Bukit Jalil. Suporter Indonesia pun dengan jiwa besar memberikan ucapan selamat kepada Tim Malaysia sebelum meninggalkan Hotel Sultan, Kamis pagi, 30 Desember 2010. Suporter mulai bisa melupakan kegagalan.

Para pemain pun menyambut kegagalan ini dengan lapang dada. Mereka mengungkapkan ekspresi ini di dunia maya.”Kami memang tidak juara, akan tetapi semoga kami mampu memenangkan hati rakyat Indonesia,” tulis akun twitter Bambang Pamungkas, Kamis 30 Desember 2010. Bepe yang didaulat sebagai leader tim oleh pelatih Alfred Riedl coba membesarkan hati rekan-rekan setimnya. Juga para pendukung fanatiknya. Sedangkan Arif Suyono menyebut tidak bisa melupakan malam final yang berlangsung di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Senayan, Jakarta. Tak lain karena dukungan masyarakat Indonesia yang meluber dalam satu warna: Merah Putih.

“Aku rindu persaudaran di GBK, di mana tawa pemimpin kita dan pedagang asongan melebur jadi satu. Sesuai semboyan bangsa, Bhinneka Tunggal Ika,” ujar Arif yang biasa dipanggil Keceng, di akun Twitternya seusai pertandingan.

Keceng pantas terharu. Sebelum memasuki SUGBK untuk melakoni leg 2 final Piala AFF melawan Malaysia, Rabu 29 Desember 2010 kemarin, Arif cs disambut Lautan Merah. Bus yang membawa Arif dan kawan-kawan sampai harus dikawal mobil kepolisian dan Baracuda untuk bisa melewati ribuan pendukung fanatik itu.

Suntikan semangat itu berhasil membuat Indonesia menang 2-1 atas Malaysia. Sayangnya, tim Merah Putih kalah dalam agregat gol karena di leg 1 tumbang 0-3. Arif cs pun harus puas dengan status Runner Up Piala AFF 2010. “Terima kasih untuk dukungan, doa, teriakan, tangisan. Terima kasih untuk semuanya. Aku bangga pada kalian semua dengan segala hormat saya,” kata pemain Sriwijaya FC ini lagi dalam Twitternya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar